Selasa, 02 April 2019

Kumpulan Artikel Yang Berkaitan Dengan Komputer dan Masyarakat


Artikel 1

Teknologi Baru, Logika Masa Lalu: Mengevaluasi Kehadiran CRISPR dalam Dinamika Pembangunan Ekonomi

Jumat, 05 April 2019 || Oleh Sri Handayani Nasution
Share on
  
   Bill Gates berargumen bahwa eksistensi teknologi modifikasi gen terbaru, CRISPR, akan meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat dari negara berkembang.[1] Lebih lanjut lagi, dia juga berpendapat bahwa CRISPR akan meningkatkan produktivitas sektor agrikultur yang kemudian akan berujung kepada upaya memberantas kemiskinan ekstrem dan ‘memberi makan’ masyarakat.[2] Serupa dengan hal tersebut, pemerintah Amerika Serikat juga percaya bahwa CRISPR dapat menjadi terobosan baru di banyak sektor, termasuk di dalamnya agrikultur.[3] CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) adalah sebuah teknologi modifikasi gen yang dapat memunculkan imunitas bagi bakteri terhadap virus-virus.[4] Terdapat banyak sektor yang dapat diuntungkan melalui penerapan CRISPR seperti sektor kesehatan dan obat-obatan, riset biomedis dan klinis, industri bioteknologi, konservasi dan manajemen ekosistem, serta sektor agrikultur.[5] Tulisan ini akan berfokus kepada dampak CRISPR secara khusus dalam sektor agrikultur dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi di negara berkembang di mana perekonomiannya seringkali bergantung kepada sektor agrikultur. Dalam tulisan ini, saya berusaha untuk mengevaluasi diskursus-diskursus yang berfokus kepada produktivitas agrikultur dan potensi CRISPR dalam meningkatkan kondisi kelaparan dunia dan pembangunan ekonomi. Saya berargumen bahwa pertama, peningkatan produktivitas tidak serta merta berarti peningkatan kondisi kelaparan dunia. Kedua, over-produksi yang disebabkan oleh penggunaan CRISPR, dalam jangka waktu panjang, akan merugikan petani lebih lanjut.

   Pertama, ditengah-tengah potensi CRISPR yang menjanjikan dalam meningkatkan produktivitas di sektor agrikultur, sangat disayangkan bahwa pemahaman mengenai cara untuk mengatasi kelaparan di dunia adalah produktivitas masih bertahan. Tanpa menegasikan pentingnya menghindari kasus gagal panen, saya berpendapat bahwa ketiadaan bahan-bahan pangan bukanlah penyebab dari kelaparan. Contoh kasus klasik mengenai permasalahan ini adalah riset yang dilakukan Amartya Sen di mana ia menemukan bahwa penyebab utama dalam bencana kelaparan di Bengal bukanlah ketiadaan pangan melainkan kegagalan distribusi (failure of entitlement).[6] Dengan kehadiran CRISPR, penting untuk tidak hanya berfokus kepada tahapan produksi bahan-bahan pangan, namun juga distribusinya. Penting untuk mengakui bahwa terdapat permasalahan fundamental dalam mekanisme distribusi bahan-bahan pangan dan daya masyarakat untuk mengakses bahan-bahan pangan yang tersedia.[7] Misalnya, di daerah yang berkonflik seperti Yemen, kegagalan untuk mendistribusikan bantuan pangan merupakan salah satu penyebab terjadinya kelaparan kronis di wilayah tersebut.[8] Kegagalan distribusi juga dapat terjadi di daerah dengan situasi dan kondisi yang jauh lebih stabil seperti di Amerika Serikat ketika setidaknya terdapat 48 juta orang masuk ke kategori food insecure pada tahun 2012.[9] Dengan kehadiran CRISPR, penting bagi para pemangku kebijakan di masa depan untuk tidak hanya berfokus kepada tahap produksi namun juga tahap distribusi bahan pangan.

   Kedua, produksi produk pertanian yang berlebihan dapat merusak harga pasar dari produk tersebut yang kemudian dapat merugikan petani. Serupa dengan efek Cochrane’s Treadmill, di mana kontrol hama menggunakan teknologi pertanian terbaru pada saat itu kemudian berujung kepada peningkatan produk yang membawa keuntungan bagi para petani yang lebih dulu mengadopsi teknologi tersebut. Namun hal ini kemudian berujung kepada produksi yang berlebih dan turunnya harga dan pendapatan para petani dalam jangan waktu panjang.[10] Teknologi CRISPR membantu petani untuk memproduksi produk agrikultur dengan resiko gagal panen yang lebih kecil, namun, pertanyaannya adalah bagaimana membuat produktivitas ini berujung kepada pendapatan lebih bagi petani. Penting bagi pemerintah untuk mengkonsiderasikan reformasi agrikultur yang dapat mengakomodasi permasalahan ini dan memberikan solusi untuk mengantisipasi terjadinya harga yang tidak stabil untuk produk pertanian.

   Pada akhirnya, CRISPR dapat meningkatkan produktivitas sektor agrikultur. Namun, produktivitas bukanlah satu-satunya jalan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa logika lama mengenai produktivitas bukanlah solusi instan apalagi satu-satunya dalam mengatasi kelaparan maupun kemiskinan. Masa depan yang menjanjikan untuk CRISPR dalam sektor pertanian harus diiringi dengan peraturan yang dapat memberikan penyelesaian kepada permasalahan distribusi pangan. Tidak hanya itu, reformasi sektor agrikultur yang dapat memberikan solusi atas permasalahan harga untuk memastikan terciptanya peningkatan kualitas hidup para petani juga penting.

Sumber : http://cfds.fisipol.ugm.ac.id/article/405/mengevaluasi-kehadiran-crispr


Artikel 2 :


Disabilitas dan Aksesibilitas Media Sosial

Senin, 01 April 2019 || Oleh Content Contributor
Share on
 
Pada kuartal terakhir tahun 2018, Instagram meluncurkan alat aksesibilitas baru yang disebut teks alternatif (Alt. Text). Fitur ini menyediakan deskripsi audio otomatis atau custom dari gambar yang diunggah ke Instagram, yang memungkinkan orang dengan keterbatasan penglihatan untuk menikmati aplikasi tersebut. Awal tahun ini, kita juga menyaksikan pengembangan Live Transcribe oleh Google, sebuah aplikasi yang memberikan transkripsi real-time untuk mempermudah orang-orang dengan gangguan pendengaran. Dengan perkembangan pesat media sosial sat ini, pengembangan fitur aksesibilitas dapat terabaikan, bahkan kurang diprioritaskan. Inisiatif yang dipelopori oleh perusahaan media sosial besar akan membuka jalan tidak hanya bagi penyandang disabilitas untuk memberdayakan diri mereka sendiri melalui teknologi tetapi juga bagi perusahaan lainnya untuk melihat keberadaan fitur aksesibilitas sebagai sebuah keharusan dalam pengembangan teknologi mereka.

Penyandang Disabilitas dan "Digital Divide"[1]
ICT, terutama media sosial, memiliki potensi untuk memberdayakan penyandang disabilitas (PWD) dalam membangun sistem pendukung sosial dan advokasi masalah disabilitas.[2] Penelitian telah menunjukkan bahwa media sosial adalah salah satu sumber informasi terpenting bagi kaum difabel.[3] Teknologi ini mendorong terciptanya komunitas disabilitas berbasis online di mana pengguna dapat berbagi cerita dan mendapatkan dukungan. Kampanye dan kisah pengalaman hidup dengan disabilitas dapat menjangkau audiens yang lebih luas, sehingga menghasilkan kesadaran dan tekanan untuk membangun komunitas yang lebih inklusif. Stereotype terhadap PWD dapat ditulis ulang oleh PWD sendiri karena mereka dapat menentukan informasi apa saja yang ingin mereka bagikan.[4] Hal ini membantu masyarakat untuk memahami bahwa disabilitas tidak sama dengan ketidakmampuan dan menegaskan bahwa PWD dapat menentukan hidupnya sendiri. Selanjutnya, media sosial dapat mendukung PWD dalam ketenagakerjaan dan kesiapsiagaan bencana.[5] Singkatnya, media sosial memiliki potensi untuk menghilangkan hambatan bagi penyandang disabilitas dalam menikmati hasil inovasi teknologi, terutama pada kehidupan sosial mereka.

Namun, media sosial mungkin tidak se-inklusif yang kita harapkan. Denis Boudreau dari Accessibilité Web telah membandingkan lima platform media sosial pada tahun 2011 dan menemukan bahwa platform populer tersebut memiliki aksesibilitas yang terbatas, sehingga PWD tidak dapat menikmati manfaatnya dengan maksimal.[6] Pengembangan alat aksesibilitas, meskipun telah ada, terbilang agak lambat. Kita baru melihat pengenalan Alat Teks Otomatis oleh Facebook pada tahun 2016 dan oleh Instagram baru-baru ini. YouTube, misalnya, dikritik karena tidak menyediakan konten video yang dapat diakses PWD, sampai pada 2010 mereka memperkenalkan fitur closed captioning (CC), dengan kualitas yang masih terbatas. Pengguna kerap memilih untuk menggunakan portal online alternatif, pintasan keyboard tambahan, dan grup dukungan online.[7] Beberapa contoh portal yang dapat diakses adalah Easy Chirp dan Access: YouTube.[8]

Kedua, kita menghadapi kesenjangan teknologi antara kaum difabel dan non-difabel. Di Amerika Serikat misalnya, 54% rumah dengan PWD memiliki akses ke Internet, jumlah yang terbilang rendah dibandingkan dengan 81% rumah tanpa PWD.[9] Hal ini dapat dikaitkan dengan banyak faktor. Misalnya, harga peralatan teknologi dengan fitur aksesibilitas tambahan bisa sangat mahal.[10] Alasan lain adalah ketidakmampuan PWD untuk memiliki akses dan dukungan yang sama terhadap pekerjaan maupun penghasilan.[11] Hal tersebut menghambat mereka untuk mendapatkan alat penunjang akses ke media sosial, seperti koneksi internet yang stabil dan kepemilikan gawai. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kurangnya aksesibilitas media sosial berakar pada masalah tentang akses yang tidak setara atau tidak memadai terhadap kesejahteraan dan dukungan sosial bagi penyandang disabilitas. Memberdayakan PWD melalui teknologi mengharuskan masyarakat untuk juga mengatasi akar penyebab adanya disabilitas - “Keterbatasan fisik itu sendiri tidak akan menyebabkan disabilitas seandainya ada lingkungan yang inklusif dan dapat diakses secara komprehensif.”[12]

Langkah selanjutnya
Di salah sisi pengembangan teknologi, sangat penting bagi publik dan Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO) untuk terus mengadvokasi dan memberikan tekanan kepada perusahaan media sosial untuk mengembangkan lebih banyak fitur aksesibilitas. Lagi pula, peningkatan aksesibilitas dapat meningkatkan produktivitas PWD dan partisipasi mereka dalam platform tersebut.[13] Namun, penting juga bagi aktor lain - seperti pembuat konten dan pengguna media sosial - untuk menghasilkan konten yang lebih mudah diakses. Ada banyak pedoman bagi pengguna media sosial individu atau institusi untuk meningkatkan aksesibilitas kontennya.[14] Antara lain menyediakan CC atau subtitle dalam konten video - mengingat teks otomatis sering tidak akurat, menulis deskripsi foto yang diunggah, dan menggunakan tagar dengan benar, terutama di Twitter. Penggunaan teks atau bahasa sederhana yang mudah dipahami juga dapat membantu orang dengan keterbatasan kognitif untuk mengakses konten.

Ada pergeseran persepsi dalam memahami kecacatan dari “gangguan” atau kondisi medis menjadi  “social model of disability.” Konsep ini melihat “disabilitas” sebagai akibat dari lingkungan yang membawa penghalang serta tidak mampu memberi akses kelompok difabel untuk berpartisipasi dalam masyarakat.[15] Oleh karena itu, masyarakat perlu menghilangkan hambatan tersebut untuk mengakomodasi PWD dalam menangani disabilitas. Kolaborasi antara perusahaan teknologi untuk mengembangkan fitur aksesibilitas dan masyarakat untuk membuat konten yang dapat diakses akan menjadi salah satu cara untuk melakukannya.

....

Editor: Anisa Pratita Mantovani

Ditulis oleh: Indriani Pratiwi

Sumber : http://cfds.fisipol.ugm.ac.id/article/405/mengevaluasi-kehadiran-crispr


Artikel 3 :


Epidemiologi Digital dan Bagaimana Kesehatan Masyarakat Bertransformasi

Minggu, 31 Maret 2019 || Oleh Anggika Rahmadiani
Share on
 
Bersamaan dengan inovasi teknologi, metodologi saintifik dalam studi populasipun telah bertransformasi. Big data telah membuka ketersediaan data dalam jumlah masif dan pilihan metode lainnya dalam pengumpulan data. Selain itu, memberikan kesempatan bagi para peneliti melakukan digital tracing dalam pengumpulan datanya sehingga tidak lagi bergantung pada metode studi populasi tradisional. Kesehatan masyarakat adalah salah satu sektor yang terpapar oleh inovasi menjanjikan ini melalui epidemiologi digital. Dengan memanfaatkan ketersediaan data set dalam jumlah besar, kesehatan masyarakat mengklaim bisa mengembangkan health surveillence dan deteksi terhadap persebaran penyakit. Komentaris ini akan mencoba memperluas diskusi perihal epidemiologi digital dari permasalahan metodologis sampai ke konsekuensi privasi.

Epidemiologi Digital dan Studi Kasus Penggunaannya

Epidemiologi sendiri memiliki tujuan untuk memahami kondisi kesehatan populasi dan pola persebaran penyakit di masyarakat sehingga nantinya dapat digunakan untuk membuat strategi deteksi dan preventif. Penggunaan digital trace, mulai dari analisis algoritma dalam penggunaan media sosial sampai analisis perilaku pengguna internet lainnya, yang pada mulanya tidak memiliki tujuan epidemis yang menyebabkan munculnya epidemiologi digital[1]. Metode ini menjadi pupuler setelah US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan Google memulai penelitian dari penggunaan mesin pencarian online untuk mendeteksi persebaran influenza di Amerika Serikat pada tahun 2009[2]. Berikut adalah dua kasus dari penggunaan epidemiologi digital dan kontribusinya secara epistemik terhadap perkembangan saintifik. 

Penelitian dari Max Planck Institute for Demographic Research menyimpulkan sebuah relasi hipotetikal bahwa tingkat fertilitas yang diukur dari data Facebook Advertising Platform berkorelasi tinggi dengan angka rerata memiliki anak (mean age of childbearing, MAC) sebagaimana diambil dari indikator konvensional berdasarkan data dari UNDESA dan  UNICEF[3]. Para peneliti mengambil data dari Facebook Advertising Platform yang terdiri dari kelompok masyarakat dengan rentang usia dari 15-49 tahun yang telah memiliki anak dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sebagai hasilnya, penelitian ini mampu menyimpulkan data terkait pola  parenthood. Kontribusi saintifik signifikannya adalah penelitian ini mampu mengisi kekosongan data mengenai tingkat fertilitas laki-laki yang ada di 79 negara berkembang, sebuah data yang belum dimiliki oleh UNDESA dan UNICEF.

Selain media sosial, mesin pencarian online juga memiliki peran penting dalam mengeksekusi health surveillance yang lebih efektif. Penelitian terkini dari Universitas Gadjah Mada menunjukan bahwa data dari Google Trends dalam membantu Indonesia sebagai negara hiperendemik atas penyakit demam berdarah untuk meningkatkan kapasitas deteksi dini dan monitor persebaran penyakit ini[4]. Dengan membandingkan data tradisional dari Kementrian Kesehatan RI dan kata kunci pencarian sebagai pola pengguna dalam mencari informasi di mesin pencari online, pada tahun 2012-2016, penelitian ini mampu mendeteksi kasus demam berdarah menjadi satu sampai tiga bulan lebih dini daripada sebelumnya.[5]





Apakah ini metode yang prospektif untuk kesehatan masyarakat ke depannya?

Epidemiologi digital muncul sebagai metode yang menjanjikan, berfokus pada informasi yang berbasis individu dengan proses yang cepat dan mampu menghasilkan data set dalam jumlah besar apabila dibandingkan dengan epidemiologi tradisional yang bergantung pada informasi berbasis hipotesis[6]. Xihong Lin, Chair of Biostatistics at Harvard menekankan bagaimana epidemiologi digital membuat peneliti memiliki akses terhadap data set dalam jumlah masif dengan waktu yang singkat dan berkapasitas real-time[7] berkisar dari geolokasi sebagai informasi yang paling umum, sampai ke informasi mengenai biogenom individu atau bahkan fenom. Sebagaimana industri teknologi kesehatan terus menerus berinovasi dengan memproduksi perangkat kesehatan seperti fitness tracker dan tumbuhnya konsumen industri ini di kalangan masyarakat[8], data atas perilaku kesehatan individu dan polanya yang didapat dari perangkat IoT seperti ini mampu memperluas kemungkinan penelitian epidemiologi digital yang lebih kompleks.

Bertolakbelakang dengan posisi pernyataan dari Chair of Biostatistics at Harvard, dalam perdebatan saintifiknya, epidemiologi digital memunculkan pertanyaan epistemik terkait bagaimana metode digital ini secara signifikan memberikan perubahan terhadap studi kesehatan masyarakat maupun studi populasi. Berangkat dari perspektif peneliti statistik, studi ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat perubahan signifikan dari penggundaan epidemiologi digital kepada studi statistik maupun populasi karena pada dasarnya metode ini tetap menggunakan data-driven method[9]. Dari isu epistemik yang sudah disebutkan sebelumnya, apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan epidemiologi digital adalah untuk mendorong para institusi kesehatan masyarakat untuk mulai mengekstrak data digital milik institusi kesehatan sendiri agar tidak lagi tergantung dari ketersediaan data dari pihak lain seperti data korporasi platform online.[10] Contoh yang bisa dijadikan acuan adalah HealthMap, sebuah system informasi digital tentang persebaran penyakit menular secara global yang mengambil data dari sumber media online kesehatan masyarakat. 

Di sisi lain, epidemiologi digital baru mulai berkembang ketika pola perilaku manusia terhadap penyakit dan kesehatan berubah di era digital. Hal ini juga menyebabkan munculnya debat etika terkait perlindungan data kesehatan pribadi yang tersebar dalam platform online, yang dikhawatirkan bisa mengarah pada kebocoran data pribadi. Maka dari itu, membuat acuan terkait regulasi konteks sensitif [11] dalam data kesehatan pribadi sangatlah diperlukan. Di sisi lain, menganonimkan data dalam riset epidemiologi digital sangat diperlukan sebagai sebuah landasan etis dari penelitian yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas. Konteks ini yang seharusnya membedakan data yang dipakai dalam riset epidemiologi digital dengan data pribadi yang digunakan berdasarkan kepentingan bisnis perusahaan user-generated content.

Editor: Anisa Pratita Mantovani

Sumber : http://cfds.fisipol.ugm.ac.id/article/402/Epidemiologi-digital-commentaries

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jurnal Yang Berhubungan Dengan Komputer dan Masyarakat

ABSTRAK Seiring dengan berkembangnya teknologi komputer yang semakin canggih ,yaitu dimana komputer merupakan peranan penting dalam masya...